(0271) 711036
kelpenumpingska@surakarta.go.id

19-10-2025

WIB

Admin Kelurahan Penumping

19-10-2025

Tentang Kelurahan Penumping

Sejarah Kelurahan Penumping Di Kota Bengawan, penamaan pemukiman yang dihuni masyarakat bersumber dari lingkungan tradisional Kasunanan dan Mangkunegaran. Penamaan itu berdasarkan toponimi yang masih dikenali hingga detik ini, yaitu lingkungan kelompok yang dinamakan sesuai peran dan tugas penghuni pemukiman dalam sistem kehidupan pemerintahan pada masa itu. Penamaan yang pertama berdasarkan nama jabatan atau gelar bangsawan kerajaan yang bercokol di tempat itu. Ambillah contoh, Kepatihan, Tumenggungan, Bumi, dan . Selain itu, nama keluarga raja atau pejabat tinggi istana yang berdomisili di wilayah itu juga bisa diabadikan untuk tetenger daerah, semisal Mangkubumen, Kalitan, Jayakusuman, Adiwijayan, Singosaren, dan Suryobratan. Berikutnya, berdasarkan peran profesi penghuni utama yang berdiam di tempat tersebut. Contohnya, Jagalan, Carikan, Sraten, Kalangan, Punggawan, Patangpuluhan, Purwosari, Gurawan, dan Penumping. Mata pencaharian pekerjaan tukang atau pengrajin yang jadi penghuni utama di daerah tersebut juga disematkan untuk nama kampung. Sebut saja, Kawatan, Kundhen, Gerjen, Gapyukan, Jlagran, dan Slembaran. Terakhir, jenis usaha industri di tempat tersebut dijadikan pula sebagai nama daerah seperti Laweyan. Menelisik penamaan Kampung Panoemping, rupanya mengacu pada tempat tinggal Wedana (Bupati Nayaka) Panoemping yang bergelar tumenggung.Menurut sejarawan Belanda, Willem G.J. Rammelink, terdapat tiga orang yang pernah disampiri tugas sebagai Bupati Nayaka Panoemping. Tumenggung Wiraguna I lengser lantaran sudah lanjut usia, lalu digantikan anaknya, Arung Binang. Arung Binang ditemploki gelar Tumenggung Wiraguna II mulai menjabat pada 10 Juni 1737 dan meninggal pada Pertempuran Bicak. Kemudian, digantikan anaknya, Tumenggung Wiraguna III yang menduduki kursi kekuasaan pada 7 Mei 1742. Dari sini, dapat ditegaskan bahwa toponimi Kampung Panoemping berasal dari nama jabatan pejabat tinggi kerajaan Kasunanan, yaitu Wedana Nayaka Panoemping yang bercokol di kampung yang disebut.Diakui, selama ini, belum ditemukan data yang menunjukkan letak persis rumah tinggal Bupati Nayaka Panoemping di Kampung yang kini dibagi menjadi Kampung Wetan, Kidul, dan Kulon. Kampung bersama dengan Kampung Kalitan, Dukuh, Gendengan, Mondorakan, dan Nusupan telah menjadi bagian dari wilayah , Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta.Demikian pula belum ditemukan data yang valid mengenai kali pertama munculnya Kampung Penumping sebagai ruang hunian masyarakat. Akan tetapi, jika merujuk pada kesejarahan Keraton Kasunanan, maka riwayat ruang mulai dihuni oleh petugas kerajaan mengikuti peristiwa boyong kedhaton 17 Februari 1745, dimana rombongan abdi dalem menyertai perpindahan ibukota Mataram dari Kartasura ke Surakarta itu. Di kawasan ini, juga tidak dijumpai peninggalan berupa artefak yang menandakan suatu kehidupan di masa lampau era awal kerajaan Mataram Islam. Untuk perbandingan, berbeda dengan Kampung Kemlayan dan Desa Sala yang di masa lampau, bahkan kini, meninggalkan jejak pepunden (makam atau candi) yang diyakini sebagai leluhur mereka sebelum perpindahan Keraton Kartasura ke Surakarta. Dua desa itu memang sudah eksis atau dihuni oleh para warga jauh sebelum perpindahan ibukota kerajaan Mataram Islam.Dicermati dari segi lingustik, istilah “Panoemping” berasal dari Bahasa Sansekerta. Muasal katanya adalah ‘tamping’ yang bermakna pinggir, tepi, atau batas daerah. Dalam Javaansch-Nederlandsch Handwoordenboek yang dianggit Gericke dan Roorda (1901), tamping mengandung maksud: (1) pagar, pinggir; (2) pinggir atau tepi dari gunung atau ketinggian; tepi atau batas dari suatu wilayah; tepi laut (bandingkan dengan kata “pinggir,” “tepi,” “tembing,” “bambing,” dan “wates”); pengalir arus, pelindung angin, atau penahan angin; pelindung, (3) juga disematkan untuk nama pejabat di wilayah Yogyakarta, yang di Surakarta disebut “gunung”. Istilah itu dipakai pula di beberapa wilayah pemerintahan. Lalu, kata ‘tamping’ mengalami perubahan afiksasi dan abreviasi dari awalan “pa” + “tamping” lalu menjadi “pa” + “tumping” dan akhirnya menjadi “panoemping”. Nama “Panoemping” telah populer sedari era Kerajaan Mataram Islam dibawah kekuasaan Sultan Agung (1613-1645). Panoemping dikenal sebagai nama jabatan salah seorang Wedana Njero/Lebet, yaitu Wedana Panoemping. Wedana Panoemping mengemban amanah memimpin kawasan Negara Agung, yakni tanah Pajang yang disebut Siti Panoemping dengan jumlah 10.000 cacah tanah. Menurut tuturan sesepuh kampung yang diwariskan kepada generasi selanjutnya, pada periode Sunan Paku Buwono X (1893-1939), Kampung Panoemping ditinggali abdi dalem yang berprofesi sebagai penongsong agung. Tugas yang dipikulnya ialah membawa songsong (payung lebar bertangkai pegangan yang panjang) untuk memayungi raja, sebagai “tamping” melindungi di pinggir raja pada waktu raja miyos/tedak atau berjalan di luar istana keraton. Dari hasil rekonstruksi sejarah, diketahui terdapat 4 macam songsong kerajaan di Vorstenlanden berdasarkan bentuk dan konstruksinya. Pertama, payung menurut bentuk dan konstruksi yang biasa, dapat dibuka dan ditutup, serta ciri yang memamerkan derajat atau pangkat si pengguna. Cirinya terletak pada hiasan yang khas serta warna sungging yang dipakainya. Alamak, tercatat ada 85 macam payung berikut ciri tertentu yang dikenakan Sinuhun (raja), putra sentana, pembesar istana, hingga abdi dalem pamongpradja berpangkat rendah.Kedua, payung sungsun (bersusun). Payung bersusun tiga ini dipakai oleh putera mahkota tatkala menjalani prosesi khitanan. Batok kepala buah hati raja tersebut dilindungi dari sengatan matahari bermodal payung mewah yang dibawakan abdi dalem. Ketiga, payung bawat yang bagian atapnya dibikin dari daun-tal (ron-tal). Tempo doeloe, payung tersebut dipakai khusus raja ketika melakoni ngrampong sima (berburu harimau dalam suatu arena). Terkisahkan pula senopati perang dilengkapi payung bawat. Dicermati, atap payung berbahan daun-tal ini sangat kuat, sehingga berguna sebagai perisai. Payung yang tidak bisa diingkupne (ditutup) itu merupakan bagian dari kelengkapan upacara keraton, kadipaten, kepatihan dan bupati nayaka. Terakhir, payung agung yang mampu ditutup. Barang sekaligus penegas status sosial tersebut menjadi kelengkapan upacara kaum darah biru di istana hingga pimpinan prajurit keraton (Heri Priyatmoko, 2022).Golongan aristokrat paling doyan bermain di wilayah simbol dan tatacara yang rumit. Makin detail serta rumit aturan itu, maka dipandang makin tinggi kebudayaan yang dipeluknya. Kenyataan ini bagian dari barokisasi perumitan budaya) oleh penggede istana. Taruhlah contoh, pemakaian payung bagi baginda raja tidak Cuma dalam upacara, tapi juga untuk eperluan sehari-hari. Bahkan, sewaktu Paku Buwono berada di cepuri keraton acap dipayungi oleh abdi dalem penongsong yang dikabarkan tinggal di itu. Saat menghadiri perhelatan penting, raja dipayungi pelayan raja dari ini dengan payung pusaka Kandjeng Kyai Brawidjaja atau Kandjeng Kyai Guwawidjaja.